Langsung ke konten utama

Atambua Is Where The Heart Is

“Atambua is where the heart is”
Oleh : Maria Joanitha Tnano




Ini adalah waktu favorit saya beberapa menit sebelum matahari terbenam, langit mulai gelap, memberikan warna indigo yang sangat saya suka, lampu-lampu kota mulai menyala, lonceng gereja mulai berdentang, keheningan yang tiba-tiba menyelimuti seluruh kota seakan sedang menghimnekan senandung senja, setelah sekian lama merantau ini pertama kalinya dalam 3,5 tahun berlalu bulu kuduk saya merinding lagi. Kami disini sedang duduk diatas permadani hijau yang kini mulai tidak tampak lagi warnanya, dikelilingi gedung-gedung pemerintah kota, patung Piet Tallo di bagian barat, seolah sedang mengawasi kami. Kami disini di pusat kota Atambua yang akrab disebut “Lapangan Umum Kota” dengan laptop ditangan yang masih menyala. 
“Lu rindu ini tempat ?” tanya seorang teman disamping dengan logat khas atambua, “Iya, This Town still talks about the memories”. Lalu disini dimulai, Atambua sebuah kota kecil di ujung Timur Indonesia, letaknya sekitar 40000 Km dari kota kupang provinsi Nusa Tenggara Timur dapat ditempuh selama 5 jam dengan perjalanan darat dan hanya membutuhkan sekitar 30 menit  menggunakan pesawat udara. Atambua dijuluki sebagai kota Beriman (Bersih, Indah dan Nyaman),  bagi yang belum pernah mendengar, kota atambua merupakan pintu gerbang menuju perbatasan RI – Timor Leste. Oleh karena itu lebih dikenal sebagai kota batas. 
Pintu Masuk Kota, Nenuk - Atambua
Kawasan Hutan Jati, Nenuk - Atambua













1. Kota Beriman

Menempuh perjalanan yang cukup jauh dari kupang menuju atambua, betapa rasa bahagia
itu tumpah menumpah saat mobil menemukan gerbang merah di ujung Nenuk, yang
merupakan pintu masuk kota atambua. Di atas gerbang itu tertulis

Selamat datang Di Kota Atambua, Kota Perbatasan”.

Selain sebagai kota batas atambua juga dijuluki sebagai kota beriman yaitu bersih, indah dan
nyaman hal ini didukung dengan kondisi kota yang masih begitu bersih udaranya, indah
alamnya, dan tentu hal tersebut sungguh memberi rasa nyaman dan kondusif bagi siapa saja
yang datang ke Atambua. Hawa yang sungguh segar dan bersih ini sudah dapat tercium saat
memasuki gerbang kota, dimana pengunjung akan disapa semilir angin sejuk sepanjang jalur
Hutan Jati Nenuk, hutan ini merupakan paru-paru kota sekaligus stabilisator suhu dan cuaca
kota, berkat adanya hutan ini sungguh sebenarnya atambua bukanlah 39 derajat celcius.

    Di hutan ini pohon-pohon jati muda menjulang melampauimu, melampauiku,
    melampaui kami, nantinya mereka hidup melampaui umurmu, umurku, umur kami. -Avianti Armand

Mobil melaju menuju ke pusat kota meninggalkan kawasan hutan jati nenuk, diiringi musik
🎵Goris Suri -  Doben, yang membawa suasana begitu haru karena akhirnya pulang ke rahim
ibu, tanah timor, atambua.

Lapangan umum Kota Atambua

Masih seperti dulu setiap sudut di kota ini punya kenangan
dan keindahan tersendiri, bangunan-bangunan tinggi yang
masih diapit oleh pepohonan-pepohonan rindang, dulu disana
kami sering memanjat atau sekedar membuat rumah pohon
untuk bermain, atau lapangan umum yang dikelilingi
angsono-angsono besar dan gerobak-gerobak jajanan ringan
di bawahnya dimana semua orang akan berkumpul dan
menceritakan segala hal yang terjadi disekeliling mereka, atau
taman kota yang begitu sejuk, kursi-kursi taman yang dipenuhi
anak muda, pasar senggol yang menyediakan jajanan khas
daerah dan yang selalu menghadirkan kombinasi cahaya indah
setiap senja berganti gelap, semuanya masih begitu sejuk dipandang,
atambua selalu menyenangkan seperti ini.

Salah Satu sudut, lapangan kota atambua


Bundaran Gereja Katedral Kota, Atambua
Katedral Kota Atambua
Tidak jauh dari pusat kota lapangan umum, terdapat gereja katedral kota yang menjadi ikon kota atambua, selain karena bangunannya yang begitu unik berbentuk salib tetapi lebih dari itu Katedral kota merupakan tempat paling istimewa bagi masyarakat sekitar, disini kami percaya dan menitipkan sejumlah harap, disini tempat segala mimpi didoakan, segala keluh kesah didengarkan, segala kenangan disimpan, segala kesalahan diampuni, segala keinginan dimohonkan, selalu dan selalu. Setiap lonceng berdentang seketika kota akan terasa hening semua aktivitas dihentikan sejenak lalu orang-orang akan mengenakan tanda salib, disini sejak dahulu kala nenek moyang kami sudah percaya iman selalu menyelamatkan. Katedral kota ini terletak di salah satu pusat keramaian kota, memang mayoritas masyarakat di kota Atambua hampir 95% beragama katolik akan tetapi di Atambua semua orang adalah bersaudara, terlepas dari perbedaan agama dan kepercayaan, ras maupun budaya. Bernapas di Atambua artinya bernapas tanpa rasa panik, budaya toleransi dan solidaritas yang begitu tinggi telah mengakar disini perbedaan bagi kami tidak pernah menjadi batasan saling membantu dan menghargai satu sama lain.
  

Angkutan Kota Atambua
Alat transportasi termudah di Atambua adalah ojek sepeda motor. Walaupun sulit membedakan antara ojek dan bukan ojek, akan tetapi bagi masyarakat atambua hal tersebut sungguh sudah sangat lumrah “hanya bermain feeling” begitulah jawaban kami kalau ditanya, akan tetapi bagi orang baru, feeling kadang salah, maka pepatah malu bertanya sesat dijalan menjadi nyatalah sudah. Selain ojek, alat trasportasi kota yang populer lainnya adalah angkutan kota atau yang lebih akrab disapa “bemo kota”. Bemo kota di Atambua sering di-istilahkan sebagai diskotik berjalan, hal yang sering dilakukan oleh anak muda kota ini adalah menumpang bemo dengan full sticker, antena, sarung kursi yang unik dan beragam aksesoris lainnya, tentu tidak lupa full musik dengan speaker minimal 2 dibawah kursi penumpang, lalu berkeliling kota dengan modal Rp.3000 – Rp.5000. Semakin banyak aksesoris dan fasilitas didalam bemo maka bemo tersebut akan laku keras di kalangan pelajar dan masyarakat umum, terkecuali mama-mama yang lebih suka teriak dan marah-marah kalau musik bemo benar-benar kuat dan mengguncang jantung. Ketika merantau dan menemukan semua kecanggihan  yang berkembang berlebih-lebih di kota besar, ada satu yang tidak pernah saya temukan di sana yaitu angkutan kota super duper keren seperti yang ada di daratan Timor, salah satunya Atambua. 

2. Bukan Kota Mati 
  Atambua, 6:00 – 7:00 adalah jam – jam macet sepanjang jalur Tulamalae hingga Tenubot. Siapa bilang di kota kecil seperti Atambua tidak ada macet ? disini juga ada, akan tetapi hanya pada jam tertentu, kemacetan lebih disebabkan karena jam masuk sekolah yang serentak, mengakibatkan jalanan seketika menjadi begitu ramai. Jalanan yang macet ini dulu sudah menjadikan kami belajar menghargai waktu mati-matian dan sekarang masih diwariskan kepada adik – adik disini. Setelah jam masuk sekolah berlalu aktivitas di kota akan terlihat normal, jalanan yang tidak begitu ramai, hanya saja kalau siang masih sering berhenti. Lalu sore hari bubar kantor atau bubar studi sore kota akan dipenuhi bunyi klakson motor mobil, bukan karena macet tetapi kali ini karena menyapa orang ditengah jalan.  Saya bersyukur terlahir disini karena walaupun menjadi anak-anak kota tapi kami tidak pernah begitu individual atau memiliki gengsi berlebihan, bagi kami hidup hanya perlu dinikmati sebaik mungkin, kami tidak harus malu ketika berteriak di tengah jalan menyapa orang lain, justru keakraban dan rasa dekat itu terbentuk dari sana. Aneh bagi segelintir orang, tetapi hal itu terasa begitu hangat bagi kami. 
Di kota ini anak-anak muda begitu hidup, tongkrongan – tongkrongan yang tidak pernah sepi, kafe – kafe yang selalu ramai, lapangan yang tidak pernah kehilangan para penikmat senjanya, temasuk semua lapangan olahraga yang tidak pernah kosong satu sore pun, disini orang – orang akan duduk dan berdiskusi ketika menemukan satu sama lain, sudut - sudut kota yang diisi dengan musik – musik dari speaker tetangga, pesta yang menjadi “Pamali” kalau tidak dirayakan dengan meronggeng like fafoti dance dari pukul 7 malam hingga  matahari pagi menjemput. Disini kota tidak pernah benar – benar mati . 

3. Kota Adat 
“Bukan anak kota 0389 kalau tidak masuk pasar baru kota”. 
Kedai Tais dan Beti Tenun di Pasar
Hari minggu adalah hari wajib masuk pasar bagi semua anak perempuan yang tinggal di atambua, mengapa ? karena pada hari itulah semua hasil kebun yang masih segar dibawa oleh mama bapa petani dari kampung ke kota untuk dijual, pada hari itulah pembeli bisa membeli sayur-sayuran dengan harga yang lebih murah dari hari-hari biasa. Di pasar semua orang bertemu, jika ingin mengenal karakter orang belu bisa dipelajari salah satunya dengan mendatangi pasar, suasana di pasar mampu menjelaskan sebagian dari kehidupan bermasyarakat orang belu. 

Akabilan atau sagu, makanan khas orang Belu 
Masyarakat belu khususnya di kota atambua berasal dari berbagai macam adat dan suku yang berbeda, perbedaan ini melahirkan banyak sekali kearifan lokal yang menjadi kekhasan masyarakat belu, seperti motif kain tenun, tarian suku, makanan khas dan tradisi adat yang berbeda setiap sukunya. Menjelajahi pasar berarti menemukan keaslian orang belu, mama-mama yang berjualan makanan khas belu seperti jagung bose, sirih, pinang, akabilan, dan masih banyak lainnya, kain tenun atau “tais” dalam istilah daerah, yang digunakan sehari-hari sebagai sarung, bahkan masih sering ditemukan, mama-mama di pasar yang menggunakan bahasa daerah masing-masing baik bahasa tetun yang merupakan bahasa asli daerah belu, bahasa buna marae dan bahasa dawan, sungguh mengagumkan budaya yang mereka jaga. 
Menjelajahi pasar saja tentu tidak cukup untuk mengetahui budaya orang belu, kecuali harus mengunjungi kampung masing-masing suku yang tersebar diseluruh daratan belu, hal tersebut tentunya butuh waktu yang lama dan kesempatan yang tepat, akan tetapi terlepas dari situ hal yang menyenangkan dari kenyataan ini adalah walaupun berbeda suku dan adat istiadat, semua orang atambua selalu merasa bersaudara dimanapun mereka berada. Sapaan seperti “Mama” “Bapa” “kaka nona atau kaka nyong” “ade nona atau ade nyong” selalu mampu membuat kami merasa dekat satu sama lain dan menjadi keluarga. Disini segala sesuatu masih terawat dengan baik, rumah adat dan ritual-ritualnya, benda pusaka, cerita rakyat, tarian dan lagu, kain tenun dan banyak lagi warisan leluhur lainnya. Tapi saya juga senang bahwa di kampung halaman yang seadanya ini anak-anak boleh bermimpi ke mana saja ia mau. Disini kehidupan dirayakan dengan begitu sederhana tapi sungguh bahagia. 
Tarian Tebe, khas orang Belu

4. Pesona Bumi Tapal Batas
Fulan Fehan
  Atambua memang berbatasan langsung dengan Timor Leste, tepatnya berada di Desa Motaain, berjarak sekitar 30 km dari kota. Bumi tapal batas ini memiliki pesona keindahan yang sungguh sayang jika dilewatkan. Dimulai dari selatan kota disana menjulang sangat tinggi Gunung Lakaan, masyarakat asli kabupaten Belu sebagian besar berasal dari daerah disekitar gunung Lakaan. Perjalanan ke arah selatan ditempuh dengan melalui jalan-jalan yang penuh dengan tanjakan dan berliku-liku, sekitar 30 km ke arah selatan terdapat hamparan sabana dengan rumput menghijau tepat di lembah gunung lakaan yang terkenal dengan sebutan “Bukit Fulan Fehan”. Permadani hijau yang menghampar disini sungguh luas tak terjangkau dan indah, ditemani tembang manis Franky Sahilatua - Padamu Bukit Pedesaan  ditambah kehadiran sapi – sapi yang merumput dan kuda yang berlarian bebas disini, membuat suasana pedesaan begitu nyata, sejuk, nyaman dan menghidupkan.
Fulan Fehan
Benteng Makes
Tidak hanya itu, arah selatan kota ini juga menawarkan berbagai wisata lainnya, seperti Benteng Lapis Tujuh, yang letaknya di puncak Bukit Makes, konon benteng ini merupakan benteng milik bangsa Portugis, tidak mungkin dikerjakan oleh tangan manusia saja, menurut kepercayaan masyarakat, benteng ini dibangun atau disusun rapi dan kuat karena adanya campur tangan dari para makhluk gaib. Benteng ini memiliki pagar batu sebanyak 7 (tujuh) lapis atau tujuh tingkat pertahanan yang tersusun rapi, sangat kuat dan masih asli, didalamnya terdapat sebuah meriam tua peninggalan bangsa Portugis.
Air Terjun Mauhalek
Selain itu tidak jauh dari benteng ini berada terdapat pula air terjun alami yang sangat indah, yaitu air terjun Mauhalek. Air terjun Mauhalek terletak di desa dirun, kecamatan lasiolat, berada di kaki gunung lakaan. Air yang sangat jernih ini mengalir dari sumber air yang berada diatas bebatuan yang sangat tinggi, Disini air mengalir deras sekali, bagi siapa saja yang berkunjung tempat ini wajib didatangi.

Tidak jauh dari letak air terjun ini terdapat perkampungan Lahurus, sebuah desa kecil di kaki gunung lakaan yang menyimpan banyak sekali sejarah penting. Lahurus merupakan pusat misi Katolik pertama di Timor. Tempat ini menyuguhkan pemandangan serba hijau dan masih sangat alami. Jalanan yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan selokan-selokan yang selalu dialiri air bersih. 
Anak Sekolah lahurus
Duduk didalam mobil Avanza, mendengarkan Jhon Denver – Country Road terus berkumandang, semua tangan kepala ikut bergoyang, membawa kerinduan itu terasa begitu dekat, di pinggir-pinggir jalan ramai anak desa sedang berjalan bersenggama bersama selepas pulang sekolah, disini anak-anak sekolah begitu ramah, setiap bertemu dengan mobil yang lewat mereka akan menyapa  “Selamat Pagi” atau “Selamat Siang”, hal tersebut merupakan tradisi yang masih dijaga hingga sekarang. 
Sekitar 50m dari pintu masuk lahurus terdapat kapela kecil yang terletak disebelah kiri diantara sawah-sawah hijau dan pepohonan rindang, yaitu “Kapela Mgr. Gabriel Manek”, seorang uskup pendiri ordo PRR (Putri Reinha Rosari) yang lahir dari tanah Lahurus. 

Kapela Mgr Gabriel Manek, SVD










Tempat menarik lain yang ada di Lahurus adalah wilayah pastoran paroki yang dikelilingi pohon mahoni, gereja yang terbuat dari batu alam,udara suci yang berhembus dari puncak gunung ke lereng-lereng dan  suara percikan dari sumber air lahurus atau Pancuran yang terletak disamping gereja yang mengalir sampai ke lembah-lembah. Pancuran ini dibuat oleh nenek moyang kami untuk mempermudah orang menimba air, di sekelilingnya tersusun batu-batu alam sebagai tembok dan pohon-pohon bambu berada tepat dibelakangnya. Air dari tempat ini dialirkan menuju sawah-sawah, tambak-tambak ikan dan rumah-rumah penduduk. Setiap pagi dan sore, anak-anak perempuan di kampung ini akan datang menimba air. Air itu mereka simpan dalam batang-batang bambu setelah terlebih dahulu mereka mandi dan cuci. 
Sumber Air Pancuran Lahurus
Pantai Sukaerlaran

Berpindah dari selatan, kali ini mengunjungi wilayah utara dari kota atambua, dengan melintasi jalur lintas batas Indonesia – Timor Leste, diiringi musik hangat Brad Paisley – Oh Love. Lautan biru, terhampar disepanjang jalur utara kota. Jajaran pantai berpasir putih menemani perjalanan menuju batas negara motaain. Boleh singgah sebentar ditempat ini untuk menikmati sore yang indah dan udara segar di Pantai. Tempat ini tidak banyak berubah. Pohon-pohon yang sama, bau udara yang sama, keramaian yang sama hanya saja orang-orangnya berbeda. Disini, Pantai Sukaerlaran Atapupu. Pantai ini memang dibalut dengan hamparan pasir putih dan pepohonan rindang nan asri disekelilingnya. Perpaduan gundukan pasir putih dipadu dengan pepohonan hijau membuat suasana di Pantai terasa sejuk meski terik matahari begitu membakar. 

Dermaga Atapupu
Disini anak-anak tapal batas berenang bahagia, bermain bola, menikmati kelapa muda atau jagung bakar, keluarga-keluarga mengadakan pesta pantai, bernyanyi, berdansa atau tebe ria bersama dipinggir pantai, ada juga yang sekedar bermain air sambil menikmati suasana. Ketika sore hari tiba kapal-kapal mulai bersandar di dermaga atapupu, lalu anak-anak laki-laki akan mengambil gitar dan anak-anak perempuan akan duduk berkumpul menyanyikan lagu-lagu kenangan sambil menyalakan api unggun dan membakar ikan, disini sore tidak pernah mati. Lautan memanggil kami dengan menyebut nama kami masing-masing. Ia tidak pernah salah, tidak juga keliru mengenal jejak kaki kami yang tertinggal di pantai. Di sini ada limpah-limpah “apa-apa” yang menunggu kami pulang. Maka bagaimana kami tidak ingin pulang ?
Perbatasan Motaain
Melanjutkan perjalanan hingga tiba di perbatasan negara, dulu tak layak jadi pintu gerbang negara Indonesia, kini disulap menjadi megah dan menjadi objek wisata menarik. Kami anak – anak batas dulu mengenal batas negara kami hanyalah sebuah garis kuning yang dicat, membelah sebuah jembatan kecil di ujung desa motaain, lalu jika diizinkan oleh para tentara kami boleh melewati garis itu dan berlarian ke sebuah gerbang besar di seberang garis kuning tadi. Gerbang yang bertuliskan “Bem Vindo A Timor Leste / Welcome To Timor Leste” lalu dengan tawa bahagia anak batas akan berpose disana. Gerbang yang hampir mirip jembatan dan mewah itu sukses membuat kami lebih jatuh cinta untuk bermain ke Pos Lintas Batas Timor Leste dibandingkan milik negara sendiri, Indonesia. 
Kini ketika pulang kembali ke Atambua, saya menemukan semua masyarakat sedang heboh membicarakan Batas Motaain yang dulu hanya sekedar garis kuning, katanya sekarang disulap menjadi begitu mewah dan menarik. Rasa penasaran ini sukses membuat saya mati-matian meluangkan waktu mengunjungi PLB Motaain. menemukan bangunan mewah yang katanya menjadi destinasi wisata baru masyarakat atambua, seperti melakukan perjalanan ke memori masa kecil, dulu kami disini bermain di bangunan kuning yang lebih layak di sebut kantor kelurahan, berlarian ketika diizinkan oleh tentara untuk memasuki wilayah Timor Leste demi foto yang berkualitas. Sekarang kami disini, menemukan bangunan kuning itu sudah berubah menjadi bangunan megah, berlarian demi “siapa cepat” mendapatkan spot foto di batas negara Indonesia. Kami bahagia dan kami bangga, sesederhana itu kami jatuh cinta. 
Perbatasan
Bagi kami pulang ke rumah adalah perjalanan tanpa alas kaki, menapaki kembali masa kecil kami, berlari-larian di atas tanah berbatu  berenang di laut bebas tanpa baju, memanjat pohon – pohon rindang yang membuat kami berulang kali terjatuh. Tetapi kami adalah anak-anak pintar yang menyembunyikan luka-luka dari ayah dan ibu kami. Lalu kemudian memetik lamtoro dikunyah dan disemburkan ke  bagian yang luka dan percaya luka tersebut akan segera mengering. Dan benarlah terjadi demikian, sungguh berbahagia masa kecil kami, sebab jauh sebelum kami dirasuki ilmu pengetahuan, kami pernah bahagia menjadi seorang anak kecil yang polos, yang percaya bahwa kesembuhan dan kebahagiaan itu seperti udara : bebas kau ambil dari alam ini kapan pun kau mau. Inilah kisah perjalanan yang akan membuat kami kembali kepada sesuatu yang paling dekat, sejauh apa pun kami melangkah pergi.
Atambua memang bukan sekedar tentang pulang, Atambua adalah satu rumah masa kecil kami yang penuh kenangan, memori yang selalu beri kami ketenteraman. Atambua is where the heart is !




Komentar